profile-image
0
Cerita
0
Joy
 

Fan board

Fithri Aulia
hai, Kak. yuk mampir di ceritaku berjudul BERUBAH CANTIK DAN SEKSI SETELAH DITALAK TIGA Terima kasih kak. Sehat selalu ya.
2
Sugiatidahlan
Ayo saling baca, jangan lupa like + komentar, guys ❤️
1
𓆩〄〬𓆪 𝐈𝐧𝐚 𝐌𝐡𝐮𝐞𝐡𝐞🔑
Holla Kak, salam kenal. Aku Ina, jika berkenan, mampir yuk ke ceritaku... judulnya "Rock Sugar" Terima kasih... 😊🙏🙏🙏
1
⏪Randria⏪
iya Kak itu revisi, yang kedua cerita baru masih on going
5
RA PINKY
Hai, Kakak. Salam kenal, ya 😊 Mampir bentar yuk ke cerita aku yang berjudul "Kembalikan Suamiku" Gratis no koin. Makasih, Kak 🙏
1
Sity Mariah
Assalamualaikum kak izin promo ya 🙏 Naik Ranjang (1) ******************* "Jangan sok peduli! Jangan berlagak layaknya seorang istri shalehah! Apa pun yang kamu lakukan, tidak akan pernah membuatku jatuh cinta sedikitpun terhadapmu!" desis laki-laki bermanik hazel yang kini tengah menggulung lengan kemejanya di hadapanku. Tanganku yang semula cekatan menyiapkan makan malam serta air minumnya berhenti seketika. Setelah kata-kata tajam yang dilayangkan pria di hadapanku itu terasa menusuk hati. Lagi dan lagi. Aku berdehem pelan kemudian menegakan tubuh yang terduduk di kursi makan saat ini. "Lalu kamu pikir, aku akan mengemis cintamu? Aku akan menghamba untuk bisa mendapatkan cinta yang kamu miliki?" tanyaku pada laki-laki yang menjadi lawan bicaraku saat ini. Laki-laki itu mendecih. Laki-laki bermanik hazel dengan garis wajah tegas dan rahang yang kokoh. Tatapannya tajam bak elang yang siap menerkam mangsa. Apalagi saat berbicara denganku. Selalu ketus dan kata-katanya selalu tajam bak belati. Seakan aku ini adalah kelinci kecil yang rapuh dan begitu membutuhkannya. Pria dengan status suamiku itu tersenyum kecut. Makanan di hadapannya telah kusajikan, lengkap dengan gelas berisi air yang juga tersedia. Sore tadi, aku memasak tempe bacem, ayam goreng, serta sambal bawang, untuk hidangan makan malam dan akan cukup untuk sarapan pagi esoknya. Aku melayaninya dengan sangat baik setiap harinya. Bukan karena mengharapkan untuk dicintainya. Sama sekali tidak. Karena bersama dengannya pun adalah di luar keinginanku. Aku melakukannya atas tuntutan ibuku dan ibunya. Kedua orangtua kami yang menghendaki pernikahan tanpa cinta ini. "Jika bukan itu yang kamu tunggu, sudah pasti kamu angkat kaki dari rumahku. Sudah pasti kamu pergi dari hidupku. Karena aku, tidak pernah menganggap keberadaanmu! Harusnya kamu tahu diri!" ujarnya lagi begitu menyudutkan. Makan malam di depanku belum tersentuh. Nafsu makanku selalu lenyap jika dia telah datang. Aku mengangkat wajahku menatapnya yang begitu dingin terhadapku. Mata itu, seperti biasanya, tidak ada pendar rasa di sana. "Apa kamu pikir, kamu begitu berarti dalam hidupku? Sampai aku harus menunggu hal itu? Sampai aku harus menanti kamu mencintaiku? Tidak! Cintamu bukan hal penting buatku. Aku di sini bukan untuk kamu. Aku di sini untuk Arka dan Arsa. Jangan menganggap kalau aku akan mengemis cintamu. Aku bisa tetap hidup meski tanpa kamu sekali pun. Tapi, aku memikirkan Arka dan Arsa jika mereka harus jauh dari Ayah kandungnya!" tukasku. Aku memilih beranjak dari kursi makan dengan piring berisi makanan di tanganku. "Dengar, Hilma! Sampai kapanpun kamu tidak akan pernah bisa menggantikan posisi Khanza di sini. Apalagi di hatiku!" Aku tidak menyahut. Tidak peduli lagi dengan apa yang diucapkan olehnya. Ucapan yang sejak awal hubungan ini terikat selalu memenuhi telingaku. Hingga aku terbiasa lalu memilih untuk mengabaikannya saja. Aku tidak pernah ingin menggantikan posisi siapa pun di sini. Sungguh. Aku menjauh dari meja makan dan keluar dari ruangan yang tiba-tiba menjadi pengap karena kedatangannya. Kuhempaskan bobot di sofa ruang keluarga, kemudian memulai makan malamku sendirian. Di sinilah aku, di rumah adik perempuanku yang sudah meninggal enam bulan yang lalu. Adik perempuanku, meninggal setelah melahirkan bayi kembarnya. Arkana dan Arsaka. Kedua orangtuaku mendesak agar aku  menikah dengan Ayah si kembar. Mereka memaksaku untuk hidup bersama laki-laki yang tidak mencintaiku. Pun denganku yang juga tidak mencintainya. Khanza Kirana, adik perempuanku yang meninggal pasca koma satu Minggu lamanya. Khanza dinyatakan koma usai melahirkan melalui operasi. Pendarahan hebat yang dialaminya membuatnya koma dan akhirnya meninggal dunia. Khanza menghadap Sang Khalik dan meninggalkan sang suami, Batara Yuda. Laki-laki yang sudah menjadi suaminya selama dua tahun. Sependek yang aku tahu pun, mereka menjalani masa pacaran hampir tiga tahun sebelum akhirnya resmi menikah. Kepergian Khanza meninggalkan putranya sejak lahir. Membuatku sebagai seorang kakak, mengambil alih tanggung jawab dan peran sebagai ibu untuk Arka dan Arsa. Sejak si kembar keluar dari rumah sakit, akulah yang mengurusnya. Hal itu justru dianggap lain kedua orangtuaku juga orangtua Yuda. Mereka sepakat dengan tradisi naik ranjang yang harus dijalani Yuda. Yuda diharuskan menikahiku, si perawan tua yang tak kunjung menikah di usia menyentuh kepala tiga. Bukan hanya Yuda, tapi aku pun dipaksa untuk mau menerima pernikahan ini. Kedua orangtuaku menginginkan merawat kedua cucunya bersama-sama. Tidak bergantian. Tidak berat sebelah. Tidak terbagi dua. Jika salah satu dari si kembar dibawa oleh orang tuaku, tentu akan jauh dengan ayahnya sendiri. Pun dengan Yuda yang harus bergantian membagi waktu untuk kedua anaknya. Sehingga tercetuslah keputusan besar. Di mana aku dan Yuda harus menikah. Aku dan Yuda akhirnya terikat dalam pernikahan tanpa cinta ini. Pernikahan yang seharusnya menjadi mahligai paling indah, nyatanya menjadi sebuah belenggu bagiku. Yuda menolakku mentah-mentah usai acara pernikahan kami tiga bulan yang lalu. Dia menilaiku tidak pantas menjadi istrinya. Aku hanya perawan tua dengan pemikiran yang kolot di matanya. Tidak seperti Khanza yang lebih berpikir modern dan selalu mengikuti perkembangan zaman. Penampilan kami memang berbanding jauh. Aku dengan gamis gamis panjang dan hijab lebarku. Sedangkan Khanza terbiasa tampil lebih modis dengan rambut panjangnya. Khanza lulusan kampus ternama di kota ini. Sementara aku, menghabiskan selama tiga tahun untuk mondok di pesantren di sebuah desa jauh dari kota ini. Lalu dilanjutkan mengabdi pada yayasan selama dua tahun. Hingga selesai masa bakti dan bertepatan dengan libur panjang.  Aku lantas pulang kembali ke kota ini. Berbarengan dengan Khanza yang masuk rumah sakit saat itu karena akan melahirkan. Hingga Tuhan menggariskan takdir ini di hidupku. Kuhela napas kasar. Makanku telah selesai. Lekas aku pun beranjak dari sofa dan kembali ke ruang makan. Di meja makan, Yuda terlihat masih melanjutkan makan malamnya. Namun, dia bukan makan malam dengan makanan yang sudah kusiapkan. Dia memakan seporsi nasi goreng yang biasa dibelinya. Aku berlalu menuju bak wastafel. Menyimpan piring makanku dan mencuci tangan dengan segera. "Makanan kampung! Terus saja dimasak. Jangan harap aku mau memakannya. Baunya saja boro-boro menggugah selera. Yang ada bikin mual!" tukasnya masih bisa kudengar dari bak wastafel ini. Cepat aku mengeringkan kedua tanganku. Berbalik ke meja makan yang diisi oleh Yuda seorang diri. Kuambil semua makanan yang tersaji lalu menyimpannya ke dalam rak penyimpanan khusus makanan. Begitu juga dengan piring makan yang sudah kusiapkan, yang sama sekali tidak ia sentuh. Tidak akan basi untuk besok pagi dihangatkan. Meja makan telah kosong. Hanya terdapat keranjang buah dan teko air. Tanpa bersuara aku berbalik dari rak penyimpanan untuk segera meninggalkan ruang makan ini. "Wanita primitif!" desisnya mencibirku di belakang sana.
2