profile-image

Deep Rest

cat friendly
icon-annouce
Masih amatir, boleh di kritik
icon-arrow-right
6
Cerita
944.9K
Joy
 

Fan board

alistebalsinchan
Permisi, kak Boleh dibantu baca ceritaku. Terima kasih
1
asooka
-Apa Yang Terjadi Pada Hanumku? ( Apa penyebab Hanum hingga meninggal sebagai penderita ODGJ?) - Membalas Perlakuan Anak dan Menantuku (Harta membuat anak dan menantunya menjadi gelap mata, apa yang harus di lakukan Nasti? Membalas atau memaafkan?) dua cerita di atas sudah tamat, baca yukk kak 💖💙terimakasih 💖🙏💖
1
Simply_imm
Hai, izin promo, salken yah. Yuk mampir ke cerita aku " Love to Winty" mau mutualan ayuk! thanks yah😘
1
Enik Wahyuni
SANDEKALA (Teror di Waktu Magrib) BAB : 1 Ketika mandi ke sungai di waktu petang. *** Matahari hampir menyembunyikan sinarnya di peraduan, namun aku masih menikmati indahnya sore hari dengan duduk dan bersantai di sini. Ya, di sini, di sungai terindah yang terletak agak jauh dari pemukiman warga. Namun tempatnya sangat menyenangkan. Banyak anak muda yang kadang menghabiskan waktu untuk berenang di sungai ini. Seperti saat ini, aku sedang menemani sang adik yang sedang bermain air dan berenang.  Mumpung ada Mbak cantik, kata Nara, karena aku sendiri baru pulang dari perantauan bersama Om Radi di Jakarta. Sedangkan Nara–sang adik, baru pulang dari pondok tempat dia menggali ilmu. Tapi, mengingat mitos yang terjadi di sini cukup membuatku merinding. Bukan mitos, namun sebuah peringatan mungkin ya. Apalagi ini sudah semakin sore, semakin membuatku ketar-ketir tak karuan. Katanya, ketika sandekala tiba … ah, tak usahlah ku lanjutkan. Hanya membuatku merinding karena ketakutan. "Ra, cepetan mandinya! Udah mau magrib nih!" Titahku pada Nara, adikku. "Ah, Mbak Naya mah gak asyik. Baru aja nyemplung, masa mau diajak pulang!" Dengan mulut manyun, Nara berujar.  Aku yang melihat tingkah Nara semakin gelisah. Bagaimana mungkin Nara bisa berujar seperti itu? Tak tahukah dia jika hari sudah semakin gelap? Ku perhatikan sekeliling, sepi. Padahal setengah jam yang lalu tadi, nampak para warga masih mondar-mandir melakukan aktifitas di sawah sekitar sungai ini. Namun sekarang benar-benar sepi, tak ada siapapun. Bahkan hanya sekedar orang yang lewat pun tak ada.  "Ra, kamu gak lihat ini sudah mulai petang. Udah mau magrib, ngerti gak sih! Cepet ganti baju atau aku tinggal!" Ancamku gemas.  Nara memang paling senang jika sudah berhubungan dengan berenang atau main air, terlebih di sini. Namun jika tidak melihat kondisi tetap saja emosi. "Iya … iya, jangan marah mulu kenapa?" ucapnya dengan muka ditekuk, lalu beranjak untuk mengambil baju ganti yang ia taruh di tas. "Aku ganti dulu." ucapnya, sambil berlalu ke ruang ganti. "Cepetan, gak pake lama!" ucapku yang mulai gugup. Nara mengganti baju di ruang ganti yang memang sudah disediakan oleh warga di sini. Sedangkan aku menunggunya dengan ketar-ketir. Hari sudah semakin petang, hatiku pun gelisah tak karuan. Kulirik pohon bambu yang berada di seberang sungai sebelah selatan. Pohonnya yang rindang semakin terlihat menakutkan. Namun badanku mulai merinding tatkala bawah pohon bambu itu terlihat gelap. Benar-benar gelap tak terlihat apapun. Aku semakin panik melihat keleletan Nara yang berganti baju saja terasa sangat lambat. "Duh, Nara, kamu itu lagi ganti baju atau lagi ngapain sih?" gerutuku panik. Sedangkan pohon bambu yang sebelah utara, tak kalah seram dengan pohon bambu yang lainnya. Padahal tak ada angin sama sekali di sini, namun tampak sekali pohon bambu tersebut bergoyang seakan tertiup angin lebat. Tampak asri dan rindang memang, jika di siang hari. Namun sangat menyeramkan jika suasana seperti ini. "Ayo, pulang!" Nara berada di hadapanku dengan membawa tas ranselnya. Wajahnya mendadak pucat pasi. Tak seperti tadi yang terlihat santai. "Ayo, cepat kita pulang!" Tanpa banyak kata, aku lantas mencekal tangannya untuk mengajaknya pulang dengan segera. "Mbak, ternyata udah gelap, dari tadi aku gak nyadar, Mbak!" Dengan panik, Nara berucap.  Sejenak, aku melirik wajah tenang Nara yang diselimuti rasa panik. Tentulah semakin membuatku takut. Aku menggandengnya dengan melanjutkan perjalanan, setengah berlari melangkah agar segera sampai rumah. "Jalanmu percepat, Nara!" "Iya, Mbak. Kamu juga yang tenang." Nara mengimbangi langkahku. Jarak yang lumayan dengan berjalan kaki seperti ini, membuatku takut karena suasana yang makin mencekam. Namun rasa takut semakin menjadi saat melewati rumah Mbah Suro. Rumah mewah dan megah, namun tak diberi penerangan sama sekali. "Kenapa rumah Mbah Suro gelap seperti itu? Orangnya masih hidup kan?" tanyaku di sela jalan kami. "Masih. Lah, kan kamu tau sendiri kalau Mbah Suro itu orang misterius dan terkenal dengan kemistisannya." Dengan tersengal Nara menjelaskan. Aku semakin merinding mendengar ocehan Nara. Ku eratkan genggaman tanganku pada Nara, aku mulai kalut. Jarak pulang seakan sangat jauh kutempuh. Pohon-pohon yang tadinya rindang dan nyaman, kini seakan sedang memperhatikan kami yang tengah berjalan menuju pulang. Kreeett … kreettt! Aku terpaku sejenak melihat pohon bambu di sampingku ini. Suara serta gerakannya seakan menarik perhatianku.  "Astagfirullah … Mbak sadar!" Nara menepuk pundakku, dan aku pun gelagalapan. "Astagfirullah … Ayo cepet kita pulang, Ra!" titahku setelah kesadaran ini kembali. "Ra, jangan lupa lafazkan dzikir dalam hati. Jangan menoleh kemana pun, fokus pada jalan di depanmu!" Bisikku pada Nara, dengan nafas tersengal. Entah karena panik ataupun lelah karena setengah berlari, aku sudah tak memikirkan itu. Namun Nara hanya mengangguk dan tak menyahut perkataanku. Karena entah apa yang terjadi denganku tadi, sungguh aku pun seperti tak percaya. Bugh! Badanku menegang mendengar sesuatu yang jatuh di sampingku. Pun Nara, ia sama tegangnya karena genggaman tangannya mengencang. Aku tak berani berasumsi apalagi melirik apa yang jatuh tersebut. Suaranya seperti buah kelapa, namun jelas di sini tak ada pohon kelapa satu pun. Terus tadi apa? Pikiranku semakin melayang tak karuan. Entahlah, jalan pulang kali ini seakan sangatlah lama. Rasanya seperti jalan dua jam, padahal biasanya pun tak seperti itu.  "Dari mana kalian?"  Kami berdua berhenti mendengar suara dari samping. Dengan nafas masih ngos-ngosan, aku melihat di depanku seorang Nenek yang sedang membawa tongkatnya menegur kami. "Kalian mampirlah ke tempatku. Istirahat dulu di sana. Kalian tahu waktu seperti ini wayahnya mereka pada keluar. Istirahatlah, atau kalian akan tersesat."  Bagai kerbau dicucuk hidungnya, aku dan Nara mengikuti langkah Nenek tersebut. Mendengar kata tersesat, membuatku mau tak mau mengikutinya dengan hati yang berdebar. Sangat misterius sekali siapa nenek ini? Ah, daripada tak bisa pulang, karena memang tempat ini jauh dari pemukiman. Aku mulai bingung saat Nenek mengajak kami berdua semakin jauh dari pemukiman. Bahkan kini hampir masuk ke dalam hutan. Aku menghentikan langkah karena ragu, pun Nara, sejak tadi ia mencengkram lenganku kuat. "Kok berhenti? Sudah mau sampai lo," ujarnya, menoleh ke arah kami. "Se-sebenarnya, Nenek ini siapa?" tanya Nara memberanikan diri. Suaranya terdengar bergetar. Jangan ditanya lagi rasanya badanku seperti apa. Bahkan kaki ini terasa lemas karena ketakutan. "Tak perlu tahu aku siapa, cucuku. Yang penting kalian aman dari pengawasan mereka."  Mereka? Mendengar itu pun kami kembali mengikuti langkah Nenek ini hingga masuk ke dalam hutan. Cukup aneh memang, Nenek setua ini tinggal di dalam hutan. Namun aku tak punya pilihan lain, selain mengikuti langkahnya. "Masuklah! Kalian aman di dalam rumah ini!" Titah sang Nenek sambil menutup pintu rumahnya.  "Makasih, Nek." Nara mengajakku masuk.  Aku yang sejenak ragu pun akhirnya memantapkan masuk ke dalam rumah sang Nenek setelah Nara mengajakku. Terbuat dari anyaman bambu, terdapat dua kursi dan meja tua berada di dalam rumah ini. Kami pun duduk di kursi yang sudah disediakan. Namun jantungku berdetak kencang kala melihat sang Nenek tersenyum menyeringai.  "Minumlah! Aku tahu kalian haus."  Nara nampak menyenggol lenganku. Ia ragu dengan tawaran Nenek ini.  "Kalau kalian memaksa pulang, aku yakin kalian tak akan sampai rumah. Kalian tahu, mereka tadi saling berebut untuk menangkap kalian. Mustahil kalian bisa lolos begitu saja dari incaran mereka."  Aku semakin tegang mendengar ucapan Nenek ini. Pun Nara, entah kini lenganku seperti apa, tak sedikitpun lepas dari tangannya. "Aku sangat suka dengan kedatangan kalian. Apalagi di antara kalian ada yang …." Nenek itu seperti mengendus dengan indra penciumannya. "Baunya wangi."  Sontak saja mataku membelalak mendengarnya. Dari mana Nenek ini tahu kalau saat ini aku sedang haid? ******* Di joylada udah tamat ya, Kak. Yuk, langsung ke aplikasi. Free, sampai tamat. Makasih🥰🥰
1
KhansaErwina
Haii!! Kalau ada waktu mampir yuk ke cerita aku "Lily and her life #JoyJadiBuku2" saling readback juga boleh banget!
1
SesilJoymood🌻
Halo kakak,Salken ya Semangat buat ceritanya💪
1