profile-image
0
Cerita
0
Joy
 

Fan board

dakkodakkochan
Halo, Kak. Permisi numpang promo ceritaku ya, De(vi)licious Series. Apabila kakak berminat, mampir di ceritaku dan ramaikan ya Terima kasih kak
1
Faida Rizqiana
Assalamualaikum, salam kenal ya, Kak 🙏🏻😊 bila berkenan yuk mampir ke ceritaku, sudah ada 3 judul: - Kegagalan Membawa Berkah (tamat) - Penyesalan Wijaya (tamat) - Roda Kehidupan (on going)
1
Reffi Ninang Aryani
RANJANG BARU UNTUK MADUKU BAB 1 IJAB QABUL "Sah...?" "Sah...!" Alhamdulillah.  Hari ini adalah hari pernikahanku dan suamiku, Mas Farid. Tepat pada hari ini, tanggal dua, bulan dua. Hari bahagia kami berdua. Hari dimana dua insan manusia telah dihalalkan oleh negara dan agama.  Aku tunaikan janji pada diriku sendiri, di hari ini. Aku berjanji akan berusaha menjadi istri solikhah. Istri yang selalu patuh terhadap suaminya. Lain dari itu, aku juga akan menjadi menantu yang patuh terhadap Bapak dan Ibu mertuaku. "Jadilah seorang Istri yang selalu patuh terhadap suamimu, Min. Kamu juga harus patuh dan taat terhadap Bapak Ibu mertuamu. Hormati mereka seperti kamu menghormati almarhum ayahmu dan almarhumah ibumu," pesan Kakek kepadaku. "Ia, Kek. Semoga saya dapat istiqamah seperti yang Kakek inginkan," tuturku. "Baguslah! Kakek dan saudara-saudaramu pulang dulu. Kamu baik-baik disini!" imbuh kakek. "Nak Farid, jaga cucuku baik-baik. Sayangi dia! Ingat! Kamu harus bisa menjadi sosok suami sekaligus ayah bagi cucuku." Kakekku memastikan bahwa suamiku akan menjagaku sebaik mungkin, sembari sesekali ia menyeka sedikit air mata yang tak sengaja membasahi pipi keriputnya. "InsyaaAllah, Kek. Kakek tidak perlu risau. InsyaaAllah saya akan menjaga dan menyayangi Cucu Kakek. Doakan kami, semoga kami menjadi keluarga sakinah, mawadah, dan warahmah," tandas suamiku. Akhirnya Kakek pun berlalu dari rumah ini bersama rombongan yang ikut mengiringi acara ijab qabulku dengan Mas Farid.  Perlahan aku lihat langkah kaki Kakek pergi ke luar ruangan ini meninggalkanku. Disini. Di tengah keluarga ini. Keluarga baru untukku. Lelaki yang baru aku kenal tak lebih dari empat bulan saja. Kulihat Kakek menengokkan kepalanya ke arahku sebelum ia menghabiskan langkah kakinya dari ruangan ini sembari melempar senyum kepadaku.  Sebenarnya aku tak tega meninggalkan Kakek seorang diri di rumah. Tanpa siapapun. "Semoga Kakek selalu dalam keadaan baik-baik saja dan selalu dalam perlindungan-Nya," lirihku dalam hati. Mas Farid, suamiku, adalah seorang putra tunggal dari bapak mantan kepala desa yang disegani di desa ini.  Kebetulan kami dulu pernah menjadi santriwan dan santriwati di Pondok Al Islam yang berada di kota ini.  Mas Farid adalah seniorku. Namun, kami tak saling mengenal. Aku hanya tahu bahwa Mas Farid adalah seorang senior yang juga menjabat sebagai lurah pondok. Singkatnya, Mas Farid pernah menolong kakekku sewaktu Kakek pulang dari sawah.  Sepeda Kakek yang rusak, membuat Kakek harus pulang jalan kaki dengan memanggul hasil panennya. Dan pada saat itulah hati Mas Farid tergerak untuk mengantar Kakek pulang. Disitulah kami saling mengenal. Ya, kami cepat mengenal. Obrolan kami sangat nyambung, kala itu. Di hari itu saja dan tak lebih dari satu jam lamanya.  Tak lama kami ta'aruf. Bulan November kami bertemu di rumah. Bulan Desember Mas Farid berkunjung ke rumah dengan membawa banyak oleh-oleh. Mas Farid juga membeli bebek peliharaan kakekku dengan harga yang lebih. Mungkin hanya untuk basa-basi saja. Aku yakin, sejatinya waktu itu Mas Farid sedang mengincarku.  Singkatnya, bulan Januari Mas Farid meminangku dan bulan Februari kami menikah. Ya, tepat di hari ini. Alhamdulillah, ya Allah. Semoga kami dapat menjadi pasangan yang saling melengkapi satu sama lain. "Dek Minari, mari silakan duduk! Pasti kamu capek. Seharian duduk terus, pakai baju pengantin seribet ini, ditambah ndak makan apa-apa." Sahut Bapak mertuaku yang bernama Pak Tejo. Mantan Kades Desa Dadapan. Yang terkenal karena kebaikan dan kebijakannya.  "Sudahlah Pakne, biar! Nanti kalau capek juga pasti duduk! Ribut terus Bapak ini!" tukas Ibu mertuaku. Bu Sumirah. Yang lebih familier dipanggil Bu Tejo. "Anu aja, tamu sudah pada pulang. Ini saudara yang rewang-rewang biar ngeberesin semua gawean. Kamu bisa mandi juga makan. Ya! Makan! Harus makan! Dari pagi lho! Pasti lapar. Ayo, ayo! Ini lho Rid, istri kamu mbok ya diajak ke kamar. Kasihan!" Bapak mertuaku menyuruh kami untuk istirahat. Kulihat tangannya mengarah ke sudut pintu kamar Mas Farid yang ada di ruang belakang. "Ayo, Dek! Mas bantu jalan. Susah 'kan pakai baju pengantin seribet ini?" Mas Farid mencoba mencairkan keteganganku. Maklum saja jika aku setegang ini karena hari ini adalah hari pertama kali aku berdekatan dengan seorang laki-laki. Aku ikuti tawaran Mas Farid, suamiku. Aku berjalan menuju kamar suamiku dengan pelan. Tak lupa suamiku memapahku karena aku tak bisa leluasa berjalan dengan baju pengantin seribet ini. Dibukanya pintu kamar ini untukku. Aku lihat kamar suamiku sangat bersih. Maklum saja karena rumah suamiku terbilang cukup mewah yang ada di desa ini. Berbanding terbalik dengan rumahku. Rumah kayu sederhana. Namun, penuh cinta di dalamnya. Ya, cinta kakekku untukku.  Kakek luar biasa yang sudah banyak jasanya untukku. Kakek sekaligus ayah juga ibu. Kakek bilang, ayahku meninggal saat aku umur tiga tahun. Kala itu ayahku jatuh dari pohon kelapa karena menyadap nira. Sedangkan ibuku meninggal karena sakit saat aku berumur empat tahun. Disaat umur itulah, aku hidup bersama Kakek seorang diri. Tanpa Ayah juga Ibu. "Dek, itu kamar mandinya. Silakan kalau mau bersih-bersih badan!" "Ya, Mas." Aku menuju kamar mandi yang menyatu dengan kamar tidur ini. "Ohya, Mas. Handuk. Ada?" tanyaku dari dalam kamar mandi. "Oh, lupa. Di almari, ya! Almari putih," ucap Mas Farid. Kulihat tangannya menunjuk sebuah almari putih di sudut kamar ini. Aku bergegas keluar kamar mandi dan membuka pintu almari putih sesuai dengan arahan Mas Farid. "Banyak sekali baju perempuan", gumamku. "Ini–?" "Ia, itu baju kamu semua. Sudah Mas siapkan. Itu ada baju gamis, baju kurung, tapi nggak ada celana jins ya!" candanya. Mas Farid sangat faham jika alumni santriwati Pondok Al-Islam tak pernah berani memakai celana jins. Segera aku bergegas kembali menuju kamar mandi.  Kuambil shower yang tergantung pada gagangnya. Kusiramkan titik-titik air dingin ini pada tubuhku.  Segarnya mandi kali ini. Semoga setelah mandi nanti, tubuhku terasa lebih ringan dan nyaman. Betapa tidak, jam tiga dini hari aku sudah bangun dan siap untuk dirias. Jam tujuh pagi aku sudah bersimpuh di masjid untuk melaksanakan ijab qabul. Jam sembilan pagi aku sudah duduk manis di atas pelaminan sampai dengan jam empat sore.  "Sudah, Dek?" Kudengar suara Mas Farid dari luar kamar mandi memanggilku. "Jangan lupa wudlu sekalian, kita langsung Shalat Ashar," imbuhnya. Aku segera bergegas membilas tubuhku dan meraih handuk putih yang sudah aku siapkan tadi. Kupakailah gamis yang sudah dibelinya untukku.  "Alhamdulillah, pas sekali," desisku. Segera aku keluar kamar mandi dan menunaikan Shalat Ashar bersama suamiku.  Tok… tok… tok…! "Riiid, Fariiid!" Tiba-tiba aku mendengar suara Ibu mertuaku berteriak memanggil suamiku dari balik pintu. "Ya, Bu!" Suamiku berlari kecil untuk segera membukakan pintu itu. "Kamu ini, baru saja punya istri sudah ngumpet di kamar terus. Nggak keluar-keluar. Itu ada temanmu!" ketus ibu. "Ngumpet di kamar terus? Perasaan di kamar cuma mandi dan sholat. Astaghfirullah," lirihku. Sembari membuntuti suami keluar, hatiku berubah menjadi tidak karuan mendengar perkataan Ibu mertuaku tadi. Ah sudahlah. Mungkin hanya perasaanku saja. Aku berusaha menenangkan diri. *** Malam pun tiba. Ini malam kami berdua. Malam yang indah dimana kami berdua dapat meluapkan rasa cinta kami sebagai dua insan yang cintanya diridloi oleh Sang Maha Pemberi Cinta dan Maha Segala-galanya. Tak lupa malam ini kami awali dengan sholat berjamaah. Mas Farid menatapku dengan sayup mata yang berbinar sembari menyungging senyum manis untukku.  Entah apa yang aku rasakan. Tatapan mata suamiku membuat aku bergetar luar biasa. Tak kuasa aku menahan degupnya dada ini. Kusalami tangan Mas Farid seusai shalat dan ku ci-um punggung tangannya. Ditariknya kepalaku ke arah wajah suamiku yang tampan ini. Dici-umnya keningku dengan pelan dan penuh kehangatan. Tak terasa bulir air mata ini meleleh begitu saja. Menetes pelan membasahi mukena putih yang aku kenakan. Tak lupa Mas Farid memanjatkan doa untuk menunaikan kewajibannya malam ini bersamaku. Malam hangat yang penuh cinta dan kasih sayang yang luar biasa. Sungguh betapa indahnya malam ini kami lalui bersama berdua.  *** Tok… tok… tok…!!! "Farid!!! Bangun!!! Sudah jam lima  ini!!! Farid!!!" seru ibu. "Astaghfirullah!"  Mas Farid tersentak karena suara teriakan ibu mertuaku. "Astaghfirullah. Kita nggak dengar adzan Subuh, Mas," ucapku gagap. "Nggak apa-apa. Bangun, kita mandi langsung sholat." "Aku bukakan pintu Ibu dulu, Mas", ucapku. "Jangan! Biar aku saja. Kamu mandi aja sana!" Jawab suamiku sembari menggeliatkan badannya. Seketika Mas Farid membukakan pintu untuk Ibu. "Oh, Ibu. Ia ini saya sama Dek Minari sudah bangun, Bu. Dek Minari lagi mandi. Kami siap-siap mau Shalat Subuh dulu!" Aku dengar sayup-sayup suara suamiku dan Ibu mertuaku dari dalam kamar mandi. "Ini ya, Rid. Sebelum keterusen. Ibu mau bilang. Bilang sama istrimu itu! Adzan Subuh mbok ya udah bangun. Langsung ke dapur. Bantuin Ibu masak. Mana ada, menantu bangun siang terus Ibu mertua yang menyiapkan sarapan. Kuwalat sama orang tua itu namanya!" "Ssssstttt…. Ibu! Nanti Dek Minari dengar. Ini kan jam lima, Bu. Belum siang juga. Maklum juga, pasti dia capek. Seharian kemarin kan baru saja ijab qabul. Suruh duduk terus. Banyak tamu juga."  Aku dengar sayup-sayup suamiku membelaku di depan ibunya. "Ya Allah, aku merasa ini pertanda kurang baik untukku. Sepertinya Ibu mertuaku kurang menyukai keberadaanku. Atau mungkin sebatas perasaanku saja," desisku dalam hati. *** "Ibu, selamat pagi. Sini biar saya yang masak, Bu." Aku buka obrolan dengan Ibu mertuaku pagi ini di dapur. Semoga dapat mencairkan suasana yang kurang nyaman di pagi ini. Hari pertama aku berada di rumah ini. "Ndak usah!" Ibu menolak tawaranku. Ia juga tak mau melihatku sedikitpun. "Oh ia, Bu, apa saya bantuin yang lain?" balasku. "Kamu dengar, ndak usah! Orang sudah matang semua. Ini saya sudah masak dari jam empat pagi lho! Sebelum kamu bangun. Bapak Farid itu terbiasa sarapan pagi-pagi sekali. Jam enam, masakan harus siap semua di meja makan!" Ibu mertuaku menjelaskan kepadaku. Kali ini nada suaranya semakin meninggi. "Oh ia, maafkan saya ya, Bu! Biar saya bersih-bersih rumah saja. Besok insyaaAllah saya bangun lebih pagi." Braakkkkk…! "Ngejawab terus kamu, ya! Kamu mau beberes rumah? Lha gimana kamu itu! Kamu lupa, ini kemarin, orang-orang, saudara-saudara Farid ini sampai jam dua malam beberes rumah. Lha kamu mau beresin apa? Udah bersih semua!" Ibu menjawab tawaranku sembari melempar tutup panci besar itu ke arahku. Tak terasa bulir air mata ini keluar begitu saja. "Istighfar Minari, sabar Minari, sabar, istighfar," rintihku dalam hati. "Ada apa teriak-teriak, Bune? Ndak malu didengar tetangga. Ada apa?" Bapak mertuaku terlihat panik mendengar keributan dari arah dapur. "Ndak apa-apa!" seru ibu. "Kamu nggak papa 'kan, Min?" tanya Bapak mertuaku. "Enggak, Pak. Nggak papa kok, Pak." Aku menjawab pertanyaan Bapak sembari menyungging senyum kecil untuk meyakinkan keadaan pagi ini. "Ya sudah kalau baik-baik saja. Langsung sarapan saja. Itu Farid lagi lari-lari kecil di halaman rumah. Suruh masuk, diajak sarapan. Kamu juga sarapan. Jangan sampai telat makan. Nanti jadi penyakit. Ini ni, asam lambung kayak Bapak kamu ini. Perut sudah buncit gini, tambah asam lambung pula!" Bapak mertuaku mencoba mencairkan suasana dengan sedikit guyonannya. "Ohya, Min, kamu harus ingat, ini bapakmu punya penyakit asam lambung, kalau ibumu darah tinggi. Sukanya marah-marah terus. Untung cantik. Jadi Bapak suka. Kalau jelek, suka marah-marah ya bapakmu ndak mau sama ibumu. Ha ha ha!" Imbuh bapak mertuaku. Kulihat tawanya semakin keras mencoba merayu Ibu yang tengah merajuk. Entah lah apa sebabnya. "Situ!!! terserah kamu, Pakne!!!" Ibu menjawab dengan singkat. Aku tinggalkan dapur begitu saja. Aku ikuti saran Bapak mertuaku untuk menghampiri Mas Farid yang tengah berolah raga pagi di halaman rumah. "Mas sarapan, yuk," ajakku dari teras rumah. "Kamu masak apa?" Suamiku merespon ajakanku sembari mendekatiku dan merangkulku menuju meja ruang makan. "Ibu yang masak, Mas. Tadi aku masuk dapur, masakan sudah matang semua. Maafin aku ya, Mas," ucapku sedih. "Lho, kok minta maaf. Tidak apa-apa. Harusnya Mas yang minta maaf. Harusnya Mas bangun lebih awal terus bangunin kamu. Jadi kamu bisa bantuin Ibu masak. Dah, sudah. Lupakan! Besok bangun pagi, ya. Jangan goda Mas kalau di ran-jang. Bisa-bisa Mas teler dan bangunnya jam sepuluh lagi!" Suamiku menggoda sembari mencubit pipiku. *** "Bapak makan apa sini Ibu ambilkan. Mau tumis atau mau sayur sop saja?" tanya ibu. "Tumis saja, Bu. Yang banyak, ya. Nasinya sedikit saja!" jawab Bapak mertuaku. "Farid makan tumis apa sayur sop?" Kali ini aku lihat Ibu sengaja mendahuluiku untuk melayani Mas Farid. "Biar Minari saja, Bu. Mas Farid pasti suka tumis, 'kan? Sini aku ambilkan!" Kali ini aku memotong tawaran ibu untuk melayani suamiku. "Naaaa…. Mulai, 'kan?! Sok tahu ini istri kamu ini! Hei Minari, kamu tahu, ini saya masak dua menu. Satu sayur sop. Dua, tumis. Tahu nggak, Bapak sukanya sama sayur ditumis, tapi Farid ini nggak suka. Makanya ibu masak sop juga. Tu, kasih tahu istrimu ini!" Kali ini ibu menghardikku dengan suara yang sangat keras. "Bu, Ibu, tolonglah, Bu. Dek Minari ini baru kemarin sore lho tinggal di rumah ini. Ibu tu ya, kenapa? Maklum lah kalau Dek Minari ini belum tahu kebiasaan dan kesukaan Farid," sergah bapak. "Tahu lah! Ibu nggak jadi makan! Situ kalian bertiga makan sendiri!" Braakkkk!!! Ibu menuju kamar dan membanting pintu. -BERSAMBUNG- Nb. Assalamuallaikum wr. wb. Hai Kak, lanjutan cerita ada di akun saya, ya.. Cerita sudah sampai bab 45. Bila berkenan, mari mampir ke akun saya dan jangan lupa follow akun dan cerita saya.. Semoga Kakak dilancarkan rejekinya.. Terima kasih ❤️🙏 Wassalamuallaikum wr. wb.
1
Enik Wahyuni
Uangku Hanya Satu Juta, Mas! Part 1 *** "Barusan Ibu telpon, kita disuruh mampir dulu ke rumah Ibu sebelum kamu pulang ke orang tuamu, Meira."  "Apa maksudmu, Mas?" Kutatap lekat mata suamiku yang kian mendekat. Menajamkan pendengaran untuk memastikan sekali lagi. "Ibu kangen sama Aretha, katanya. Nggak papa ya, kita mampir sebentar. Kurasa dua hari cukup lah di sana, habis itu kuantar kalian ke rumah Ibumu. Bagaimana? Kamu setuju, kan?" "Tapi dua bulan yang lalu kita sudah pulang ke rumah Ibumu, Mas! Kamu udah janji, akan mengantarkan aku dan Aretha ke rumah Ibuku! Kenapa tujuannya jadi berbelok?" Aku terpekik, memandang Mas Bara dengan suara bergetar. "Kan aku bilang, kita hanya dua hari di rumah Ibu. Setelah itu, kita langsung jalan ke rumah orang tuamu. Hanya untuk memberi ketenangan pada Ibu, Meira. Beliau kangen dengan Aretha, aku mohon kamu mengerti, ya?"  Aku mencelos. Entah berapa kali aku harus berusaha mengerti, tentang semua keinginan Mas Bara dan keluarganya. Sudah sering, kami pulang ke rumah ibu mertua. Namun aku sendiri harus menahan rindu dengan kedua orang tuaku selama tiga tahun. Ya, selama tiga tahun. Setelah menikah dengan lelaki yang sekarang berada di depanku, aku tak merasakan hangat dekap kasih sayang orang tuaku sendiri. Hingga Aretha– anak semata wayangku– kini berumur dua tahun, belum sekalipun bertemu dengan kakek dan neneknya.  Miris, bukan?  "Pengertian seperti apa yang kamu inginkan?" Aku menunduk menahan hati yang sesak. Meremas dompet yang sejak tadi di tangan. "Uangku hanya satu juta, Mas! Rasanya tidak akan cukup, jika harus mampir dulu ke rumah Ibu. Aku tidak mau nanti habis, lalu gagal menemui kedua orang tuaku!" Sengaja kutekankan sedikit kata terakhir, agar Mas Bara berpikir.  Inilah alasan, mengapa aku selalu gagal untuk pulang ke kampung orang tuaku. Dua tahun mengalami pandemi, satu tahun setelahnya selalu tarik ulur tentang keuangan kami.  Uang dan tabungan Mas Bara seolah lenyap begitu saja jika sudah berada di tengah tengah keluarganya. Lalu, aku bisa apa? Jika Mas Bara sendiri memang menjadi tulang punggung dalam keluarga besar di sana.  Aku yang hanya seorang ibu rumah tangga, sengaja menyisihkan sedikit demi sedikit agar bisa pulang ke kampung orang tuaku. Dan sekarang sudah terkumpul satu juta nilainya, sudah cukuplah bagiku untuk menemui mereka yang tengah kurindukan di sana. "Bagaimana, Mas, apa kamu bisa menjamin akan kepulanganku?" tekanku sekali lagi. "Jangan khawatir, aku akan meminjam uang kantor untuk ongkos pulang. Minggu depan kita pulang, dan uangmu akan utuh sampai di kampung orang tuamu."  Aku menghela napas.  Di satu sisi, senang luar biasa karena Mas Bara sendiri sudah menjamin akan kepulanganku. Namun di sisi lain, rasa hati sedikit berat. Istri mana yang tega jika suami sendiri sampai berhutang demi menyenangkan orang-orang di sekelilingnya? "Mas yakin?" tanyaku. "Nggak jadi?" ledeknya. Aku tersenyum. Jika berbicara soal orang tua masing-masing, selalu ada kemarahan dalam hati karena tidak rela.  Mas Bara bisa dengan mudah menghabiskan waktu dengan Ibunya. Sedangkan aku sendiri harus menahan kerinduan bertahun-tahun dengan kedua orang tuaku. Tetapi, mendengar seruannya tadi hatiku menjadi sedikit tenang. Sejauh ini karena memang keadaan yang memaksa untuk aku belum bisa memenuhi keinginan, bukan karena keengganan Mas Bara. "Tidurlah, sudah malam. Besok aku akan mengajukan pinjaman, biar minggu depan langsung cair. Setelah itu, kita pulang." Tak menjawab lagi, aku merebahkan diri di dekat Aretha. Sejenak, kutatap wajah lelaki yang menikahiku tiga tahun yang lalu. Terlihat kusut, walau senyum sedikit tersungging dari bibir manisnya.  Ada rasa berdosa karena telah mendesaknya, namun tiga tahun berlalu tanpa sedikitpun bersanding di antara Bapak dan Ibu itu terasa menyesakkan. Semoga rindu ini tersalurkan dan segera menemui mereka yang kusayangi di sana. "Bapakmu kemarin habis sakit, Nduk. Pengen ketemu cucu satu-satunya yang belum pernah dilihatnya. Pulanglah, Nduk, sebentar saja. Kami ini sudah tua, tak sanggup rasanya jika harus jalan jauh ke Jakarta sana." Kembali terngiang ucapan Ibu di telepon kemarin, semakin membuat mataku memanas.  Hati mana yang tidak tersayat mendengarnya? Namun aku sendiri masih menempatkan suami pada posisi tertinggi karena memang keadaan yang membuatku sulit pulang. Maafkan aku, Pak, Bu, maafkan Meira yang belum bisa menjengukmu di sana. *** Seminggu pun berlalu, akhirnya waktu yang kunanti pun tiba. Mobil yang dikendarai oleh Mas Bara berjalan perlahan meninggalkan tempat tinggal kami. Bersiap ke rumah mertua yang jaraknya juga lumayan. Aku menghela napas. Mempersiapkan segala kemungkinan yang terjadi di rumah ibu mertua nanti. Apapun keadaannya, aku tak mau lagi lagi gagal untuk tetap pulang ke rumah Ibu. Semoga Mas Bara tidak mengingkari janjinya. “Mama, kita mau ke lumah Nenek, ya? Asyiikk … Leta senang!” Aretha dengan suara gemasnya berceloteh.  Aku tersenyum menanggapi ucapan cadelnya. “Iya, Sayang. Nanti Aretha akan bertemu juga dengan nenek jauh, yang di sana. Retha kan punya dua nenek, yang belum Retha temui sama sekali.”  Mata bulatnya mengerjap, lucu sekali. Tak lama, wajah senang pun terpancar seiring dengan teriakan khasnya. “Yeeyy … Letha senang, Mama! Letha senang!” girangnya dengan badan mungil yang terus bergerak. Aku memeluk tubuh mungil yang berada di pangkuanku. Bagaimana bisa Retha yang sudah berumur dua tahun, tapi neneknya, yang notabene cucu satu satunya, belum melihat tingkah lucunya seperti ini.  Mas Bara yang sedang menyetir, meremas tanganku pelan. “Jangan sedih!” ucapnya tanpa menoleh ke arahku. Ah, semoga saja kau tahu apa yang menyebabkan aku sesak seperti ini, Mas. Semoga saja tidak ada kendala apapun, dari keluargamu nanti. - Matahari sudah mulai bersembunyi dalam peraduan, berganti dengan senja yang mulai terlihat memancar dari jauh sana. Aku menggerakkan badan karena terasa pegal, seiring dengan mobil yang terparkir tepat di halaman rumah ibu mertua.  Ya, kami sudah sampai di tempat tujuan, dan aku segera mengangkat Aretha yang tertidur di pangkuan. “Bara … akhirnya, kamu sampai juga.” Ibu langsung mendatangi anak lelakinya dengan wajah yang begitu sumringah. “Bu, apa kabar?” Aku menyalami mertua sambil menggendong Aretha. “Baik, tapi jadi kurang baik kalau melihat kalian kecapean kayak gini. Istirahatlah! Lihatlah Aretha, sepertinya kelelahan. Kayak gini kamu mau maksain buat jalan jauh ke rumah orang tuamu. Pikir sekali lagi, Meira! Pikirkan keadaan Aretha, juga Bara. Janganlah terlalu egois.” Ibu langsung mengambil alih Aretha dalam gendonganku, lalu membawanya masuk. Aku tersenyum getir. Sudah kuduga respon Ibu akan seperti ini. Dan ini bukan yang pertama kalinya. “Sudah, jangan diambil hati. Ayo masuk!” Mas Bara merangkulku, mengajak untuk masuk ke dalam rumah. Dan di dalam rumah, semua keponakannya sudah menunggu, dengan wajah yang begitu senang. Namun cukup membuatku sedikit sesak. “Om Bara pulang! Yeeeyy … pasti bawa jajan banyak!” “Om Bara pasti bawa mainan. Kemarin aku udah pesen, minta dibawain mobil-mobilan yang terkeren model terbaru.” “Om … hapeku rusak. Beliin hape baru dong, Om! Aku jadi nggak bisa sekolah kalau hapenya rusak begini.” Aku menghela napas. Mengamati wajah yang kusut walau memaksakan senyum di sana. Ingin mengetahui, jawaban apa yang diberikan oleh Mas Bara dengan permintaan para keponakannya itu.  ****** Di Joylada udah bab 4. Yuk, langsung ke aplikasi. Free ya kak.
4
Araya Noona
hai kak. jika berkenan yuk mampir di ceritaku 'Terjebak pernikahan Yang Salah' dan 'Sebatas Istri Bayaranmu'. Di jamin gak akan nyesel dengan jalan cerita yang pastinya seru dan tak terduga. Bikin penasaran terus. Gak percaya? Yuk langsung kepoin🤗 di tunggu yah
1
Pusparani
Halo, Kak. Mau baca cerita romantis? Mampir baca novelku, yuk. BUKAN AKU TAK SETIA, ISTRI SANG JURAGAN (Gratis) dan beberapa novel lainnya. Siapa tahu suka. Terima kasih.
2